Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Thursday, August 18, 2011

Korea Selatan Incar Biofuel Indonesia

TEMPO Interaktif, Jakarta - Korea Selatan sangat membutuhkan bahan bakar minyak nabati guna memenuhi target peningkatan porsi energi bersih hingga lima kali lipat konsumsi saat ini pada 2030. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Negeri Ginseng tersebut membidik Indonesia yang kaya akan sumber daya nabati sebagai salah satu pusat pengembangan dan produksi biofuel.



Kepala Bioenergy Research Center, Korean Institute of Energy Research, Jin-Suk Lee, mengatakan pemerintah Korea memahami permasalahan pemanasan global yang dihadapi masyarakat dunia. Pengurangan jejak karbon menjadi perhatian besar pemerintah. Salah satunya terletak pada sektor transportasi yang berkontribusi signifikan dalam pelepasan gas rumah kaca.

Alat transportasi yang ada di dunia selalu mementingkan mobilitas dalam setiap perancangannya. Batasan ini membuat pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi tak memiliki banyak pilihan energi alternatif.



“Bahan bakar nabati adalah satu-satunya pilihan energi bersih bagi kendaraan,” ujar Lee saat berceramah di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Kamis, 18 Agustus 2011.



Hingga 2030, Negeri Ginseng berharap bisa menggenjot penggunaan bahan bakar nabati yang saat ini mencapai 20 persen konsumsi energi nasional mereka. Sayangnya, negara itu miskin akan bahan baku energi, termasuk bahan baku nabati. Sekitar 90 persen bahan bakar berasal dari impor sehingga pencarian dan penelitian bahan bakar nabati harus dilakukan di luar negeri.



Indonesia menjadi negara bidikan Korea Selatan sebagai sumber bahan baku nabati dan lokasi penelitian. Sejak 2010, pemerintah Korea Selatan mengucurkan hibah penelitian sebesar US$ 2,2 juta untuk dana penelitian dan US$ 500 ribu untuk pembangunan laboratorium penelitian di Serpong. Hibah ini dikucurkan untuk kurun waktu tiga tahun berikutnya.



Penelitian di Indonesia berfokus pada pencarian bahan bakar nabati dari bahan selain pangan. Bahan bakar nabati seperti ini sedang menjadi perbincangan peneliti energi dunia setelah bahan bakar nabati dari bahan pangan menjadi mahal akibat tertekan lonjakan harga bahan makanan.



Proyek penelitian yang sudah setengah jalan ini berjalan dengan baik. Pabrik pengolahan dan produksi bahan bakar nabati nonpangan sudah hampir rampung. Demikian pula dengan peneliti dan operator yang sebagian besar ditarik dari tenaga Indonesia sudah matang untuk menjalankan pabrik. Pada tahun 2012, pabrik perintis bahan bakar nabati nonpangan ini akan beroperasi penuh.



“Pada tahun 2030, konsumsi bahan bakar nabati kami melebihi 1 juta kilo liter per tahun. Sumber ini harus kami kami penuhi, termasuk dengan menyokong pengembangan energi alternatif ini,” kata dia.



Korea Selatan sendiri mendukung penggunaan bahan bakar nabati habis-habisan, di antarannya dengan membuat pembebasan pajak bagi masyarakat yang menggunakan bahan bakar ini. Selain itu, paket subsidi juga sedang digodok agar semakin banyak masyarakat mengkonsumsi bahan bakar ramah lingkungan.



Di Indonesia, pemerintah masih kurang serius menggarap bahan bakar nabati. Kebijakan energi nasional yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005 menargetkan 17 persen energi baru terbarukan menyumbang keseluruhan konsumsi energi nasional pada tahun 2025. Dari porsi tersebut, hanya 5 persen yang ditargetkan dari bahan bakar nabati.



Menurut anggota Dewan Energi Nasional Mukhtasor, kebijakan energi alternatif di Indonesia masih terkendala permasalahan harga dan birokrasi. Tingginya subsidi yang diberikan kepada bahan bakar minyak membuat harga bahan bahar nabati sulit bersaing. Sementara peta bauran energi nasional masih tersangkut pada polemik bahan bakar nuklir.



“Energi nuklir masih jadi perdebatan sehingga menghambat perjalanan energi alternatif lainnya,” kata Mukhtasor pada kesempatan terpisah.



Di Indonesia, tambah Mukhtasor, kesadaran bahan bakar nabati pernah meningkat pesat dalam kurun waktu 2006-2007. Namun, setelah masa keemasan tersebut, pemakaian bahan bakar ramah lingkungan ini menurun drastis.[ANTON WILLIAM]



TEMPOInteraktif


Blog Archive